Peta Tanah Jawa tahun 1729 Masehi (Istimewa)
Sejarah awal Pulau Jawa seolah terbungkus oleh misteri, karena sama sekali tidak diketahui keberadaannya oleh dunia sampai pulau ini dikunjungi oleh peziarah dari China, Fa Hien pada tahun 412 Masehi.
Berdasarkan buku Sejarah Gaib Tanah Jawa, karangan CW Leadbeater, Cetakan 1 Maret 2015, disebutkan, pada 2.000 tahun sebelum masehi (SM), Pulau Jawa sudah menjadi koloni bangsa Atlantis, tapi saat Atlantis hancur Jawa menjadi negeri terpisah.
Nah, disaat masih dikuasai oleh bangsa Atlantis inilah ajaran gaib hitam dan sesat mulai diajarkan kepada penduduk yang tinggal di Pulau Jawa ini.
Sehingga pengaruh aliran sesat itu kemudian semakin kuat dan merusak tatanan kehidupan yang ada saat itu.
Mereka memuja dewa yang kejam yang selalu meminta persembahan manusia dan hidup di bawah bayang-bayang tirani tanpa kesempatan untuk melepaskan diri.
Pada zaman itu, mereka diperintah oleh raja yang merangkap Imam Agung dari aliran hitam itu. Di antara raja ini ada seorang yang sungguh fanatik dalam kepercayaan aliran hitam itu.
Sang raja memiliki keyakinan bahwa hanya dengan menjalankan praktik kepercayaan yang mengorbankan darah setiap hari, wilayahnya dapat diselamatkan dari kehancuran.
Hal ini didasari keyakinan bahwa, dewa-dewa ganas dan haus darahlah yang memegang kendali atas Pulau Jawa pada saat itu.
Para dewa telah membuktikan kekuatan dahsyatnya dengan letusan gunung berapi berulang-ulang dan bencana-bencana alam lainnya.
Raja tersebut lalu memutuskan untuk melakukan sebuah pemagaran gaib demi untuk tetap menjaga dan memelihara perlindungan atas Pulau Jawa. Salah satu caranya dengan praktik ilmu gaib dari para ahli sihir.
Hal ini dilakukan agar kelak semua sesembahan darah kepada dewa-dewa haus darah yang bercokol di seluruh Jawa tetap dilanjutkan di sepanjang abad-abad yang akan datang.
Demi terwujudnya maksud itu, dia kemudian menciptakan mantera yang sangat kuat di atas Pulau Jawa agar aliran hitam yang dianutnya tersebut tak akan lenyap selamanya.
Efek dari hal itu, masih dapat dilihat baik secara etheris maupun astral dalam bentuk awan gelap yang besar melayang-layang di atas Pulau Jawa.
Awan hitam ini, anehnya kelihatan seolah-olah seperti tertambat pada titik-titik tertentu, sehingga tidak lantas terbawa oleh angin dan tetap tinggal pada tempatnya.
Titik-titik lokasi awan hitam ini sengaja dimagnetisir oleh raja, dekat dengan kawah-kawah gunung berapi. Salah satu alasannya adalah karena kawah-kawah tersebut biasanya ditempati oleh beragam jenis makhluk-makhluk halus. Sehingga makhluk-makhluk gaib itu dapat diperintah oleh sang raja.
Kemudian pada 1.200 tahun SM terjadi invasi secara damai terhadap Pulau Jawa oleh Raja Vaivasvata Manu yang beragama Hindu.
Mereka datang secara damai tinggal di pantai dan pada akhirnya membentuk kota perdagangan kecil yang independen.
Seiring waktu, kekuatan para pendatang Hindu ini meningkat pesat dan akhirnya menjadi dominan dalam komunitas.
Akan tetapi walaupun Agama Hindu telah diterima oleh penduduk namun dalam kenyataannya pemujaan lama terhadap ajaran sesat tetap dilaksanakan dan praktik ilmu gaib malah makin menjamur.
Melihat kondisi tersebut Raja Vaivasvata yang berkuasa saat itu meminta untuk mengirimkan ekspedisi ke Jawa pada tahun 78 Masehi.
Ekspedisi ini dilakukan untuk menangkal pengaruh buruk dari aliran sesat yang sudah membumi di Tanah Jawa tersebut.
Pemimpin ekspedisi ini dipimpin oleh ahli spritual bernama Aji Saka atau Sakaji. Aji Saka ini sangat memahami tugas yang diembannya.
Aji Saka lalu menanam benda yang berdaya magnet kuat yang telah dimantrai di tujuh tempat di Pulau Jawa untuk menyingkirkan pengaruh aliran hitam dari tanah Jawa (tumbal bagi tanah Jawa).
Untuk tempat menguburkan tumbal atau jimatnya yang paling penting dan kuat, Aji Saka memilih perbukitan yang mengarah ke Sungai Progo, tempat yang sangat dekat dengan titik Pulau Jawa.
Legenda mengenai Aji Saka ini dalam berbagai cerita juga dianggap melambangkan kedatangan Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-Buddha) ke Pulau Jawa.
Akan tetapi penafsiran lain beranggapan bahwa kata Saka adalah berasal dari istilah dalam Bahasa Jawa Saka atau Soko yang berarti penting, pangkal, atau asal-mula, maka namanya bermakna "raja asal-mula" atau "raja pertama".
Mitos ini mengisahkan mengenai kedatangan seorang pahlawan yang membawa peradaban, tata tertib dan keteraturan ke Jawa.
Karena Aji Saka telah mengalahkan raja jahat Prabu Dewata Cengkar sang penguasan hitam yang kala itu menguasai Pulau Jawa.
Legenda ini juga menyebutkan bahwa Aji Saka adalah pencipta tarikh Tahun Saka, atau setidak-tidaknya raja pertama yang menerapkan sistem kalender Hindu di Jawa.
Tumbal Aji Saka untuk menangkal kekekuatan hitam pun bertahan hingga beratus-ratus tahun kemudian. Hingga sampai pada keadaan dimana jin kembali berkuasa, hujan darah dimana-mana, bencana merajalela.
Pada masa ini berkembanglah beberapa aliran ilmu gaib di Pulau Jawa diantaranya, kejawen, klenik dan kebatinan.
Lalu pada awal abad 13 datanglah Syekh Subakir seorang ulama yang dikirim Kesultanan Turki Utsmaniyah ke tanah Jawa.
Syekh Subakir adalah seorang ulama besar yang dikirim untuk menumbal tanah Jawa dari pengaruh negatif makhluk halus saat awal penyebaran ajaran Islam di nusantara.
Karena Syekh Subakir mengetahui kondisi Pulau Jawa banyak dipengaruhi unsur gaib yang sangat mengganggu. Lalu, Syekh Subakir membawa batu hitam dari Arab yang telah dirajah.
Kemudian dengan karomah yang dimilikinya batu hitam dengan nama Rajah Aji Kalacakra tersebut dipasang di tengah-tengah tanah Jawa yaitu di Puncak Gunung Tidar, Magelang.
Karena, Gunung Tidar dipercayai sebagai titik sentral atau pakunya tanah Jawa. Hasilnya kekuatan gaib yang mengganggu di Pulau Jawa dapat dihalau.
Pada masa ini ilmu kebatinan berkembang lagi menjadi beberapa cabang yaitu, ketabiban, kawaskitaan, kesaktian, kanuragan, kekebalan, pengasihan, termasuk juga tenaga dalam.
Kemudian sepeninggalan Syekh Subakir pemagaran gaib terhadap pengaruh negatif dilanjutkan oleh para Wali Songo. Para wali ini mengajarkan ajaran Islam. Salah satu diantaranya yang terkenal yaitu Sunan Kalijaga. Wallahu alam bishawab
0 komentar:
Posting Komentar